Pantai Tanjung Bias, Lombok Barat |
"Pekan depan ini kami akan merapatkan pembentukan tim khusus. Karena untuk membentuk tim khusus mengusut dugaan pungli di Pantai Tanjung Bias ini butuh SK Bupati," ujarnya, Kamis (08/08).
Ia mengatakan, belum lama ini Dinas PUTR Lombok Barat menerima aduan atas dugaan praktik pungli di Pantai Tanjung Bias, yang melibatkan oknum lingkup Pemerintah Desa Setempat. Praktik itu diduga dilakukan sejak tahun 2016.
Kala itu, roy pantai Tanjung Bias baru mulai dimanfaatkan pedagang untuk membangun lapak. Setelah mengalami perkembangan, banyak bangunan yang dulunya tongkrongan biasa disulap kafe. Dari sanalah, para oknum di pemerintahan desa diduga mulai menarik tarif.
Dari keterangan yang diperoleh, perbulannya, para oknum tersebut diduga meraup untung Rp 500 hingga Rp 1 juta. Nilai tersebut belum termasuk persentase (jatah) jika ada transaksi jual-beli atau sewa lapak.
"Per transaksi, para oknum ini diduga menargetkan 25 persen dari nilai deal-dealan antara pemilik lama dan calon pemilik baru. Itu sudah termasuk administrasi perubahan nama pemilik, serta hal-hal lainnya sebagai jaminan desa. Tapi penyerahannya di bawah tangan," bebernya.
"Harga lapak tergantung ukuran dan fasilitas. Ada yang melepas Rp 150 juta, sampai Rp 300 juta. Kalau dikalkulasikan dengan 25 persen, sudah berapa rupiah," rincinya.
Ia pun menyayangkan adanya pengaduan tersebut. Jika ada peraturan desa terkait pungutan retribusi pedagang harus merunut peraturan kabupaten atau peraturan yang lebih tinggi. Terlebih lagi, tegas Mamiq Winengan, oknum tersebut mengambil setoran di lapak pedagang yang berada di atas roy pantai, masuk kategori pungli dan ganjarannya pidana.
"Tidak bisa hanya menggunakan aturan desa. Jangan sampai sekarang tidak masalah, ditunggu numpuk-numpuk masalah lalu suatu saat terbongkar dan mereka ditangkap, itu yang kita tidak diinginkan. Jadi jangan seenak-enaknya membuat aturan," ketusnya.
Terpisah, Plt. Kepala Desa Senteluk, Muh. Sajidin, menepis dugaan pungli terkait sewa atau jual beli lapak dan kafe. Ia pun mengaku tidak mengetahui, seperti apa kesepakatan pemilik lapak dengan pemerintahan desa yang sebelumnya.
Kendati demikian, ia memastikan, pengelolaan seluruh lapak dan kafe di sepanjang sempadan Pantai Tanjung Bias, diserahkan ke Badan Usaha Milik Desa (BUMDes).
"Yang jelas ini di luar kendali saya. Saya tidak tahu di awal yang dulu bagaimana, yang jelas BUMDes lah yang punya rumah tangga," katanya.
Hubungan Pemerintah Desa dengan BUMDes, menurut Sajidin, hanya sebatas Penyertaan modal. Itu pun, hasil dari penyertaan modal sangat jauh dari ekspetasi pemerintah desa.
"Jadi anggaran yang kami berikan untuk penyertaan modal sebesar Rp. 50 juta. Tapi yang kami terima hanya Rp. 2,7 juta pertahun," jelasnya.
Disinggung terkait aduan ke Dinas PUTR Lombok Barat, yang menguak dugaan setoran 25 persen dari nilai transaksi, ia menyerahkan seluruhnya ke pihak BUMDes sebagai pengelola.
"Itu (Urusan, red) BUMDes. Kalaupun ada, itu antara BUMDes dan pengelola lapak," jawabnya singkat.
Media inipun meminta kepala desa setempat untuk memanggil Ketua BUMdes agar dapat memberikan klarifikasi atas aduan Dinas PUTR Lombok Barat. Sayangnya yang bersangkutan tidak ada di tempat. (Red).
0 Komentar